By :
Edi Laksono Hs
Materi :
Peran Bank Indonesia dalam Perbankan Syariah
PERAN BANK INDONESIA DALAM PERBANKAN SYARIAH
PENDAHULUAN
Sebagai otoritas moneter, perbankan dan
sistem pembayaran, tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter,
namun juga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran).
Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh
stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas
keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan
moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu
pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas
kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi
kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka
transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya,
ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem
keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi
latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan
tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia.
Pertanyaannya, bagaimana peranan Bank
Indonesia dalam memelihara stabilitas sistem keuangan? Sebagai bank sentral,
Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:
Pertama,
Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain
melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia
dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang.
Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap
berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga
yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu
pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank
Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting
framework.
Kedua,
Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan
yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti
itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan
dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara
lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh
sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan
dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut,
sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan.
Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat
kebijakan serta penegakan hukum (law
enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa
negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem
keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan
untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong
kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor
perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.
Ketiga,
Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah
satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial
yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan
tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga
menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan
mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang
cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran
yang bersifat real time atau
dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time
Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan
kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank
Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko
potensial dalam sistem pembayaran.
Keempat,
melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses
informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui
pemantauan secara macroprudential, Bank
Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi
kejutan (potential shock) yang
berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat
mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential
untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan
tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor
keuangan.
Kelima,
Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR).
Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral
dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem
keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi
normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi
masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat
sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang
mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk
membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank
Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu,
pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam
penyediaan likuiditas tersebut.
PEMBAHASAN
Kebijakan
Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders
perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam
mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada
tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di
Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara
komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional
beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri perbankan
syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah
nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan
yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan
Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices
yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB
(Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.
Pengembangan perbankan syariah diarahkan
untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara
optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan
syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya,
seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan
Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya
pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung
pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat
nasional.
“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di
Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta
sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab
tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan,
yaitu pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui
pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional
dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor
keuangan syariah lainnya.
Dalam jangka pendek, perbankan syariah
nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih
sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk
menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang
bertaraf internasional.
Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang
ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang
bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep
ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian
permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap
memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan
sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem
perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat
Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.
Grand
Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah
Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan
perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah
Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi
komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis, yaitu:
Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN,
pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan
universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih
beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan
perbankan syariah lebih dari sekedar bank.
Selanjutnya berbagai program konkrit telah
dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan
pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan
syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai
Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan
pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan
syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan
pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar
75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai
perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar
Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.
Kedua,
program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning,
differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan
yang saling menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi dengan
keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparans,
kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu up-date
dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai.
Sedangkan pada aspek branding adalah “bank syariah lebih dari sekedar bank atau
beyond banking”.
Ketiga,
program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan
syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai
layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen
sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan
kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang
ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas
dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
Kelima, program peningkatan
kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi
informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu
mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan
jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
Keenam, program sosialisasi
dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana
komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik,
online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan
produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Keberadaan
sistem perbankan syariah dalam sistem perbankan di Indonesia kini telah
mendapatkan payung hukum tertinggi yang akan melindungi kiprah dan sepak
terjang industri perbankan syariah di tanah air. Hal ini dengan diloloskannya
Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi undang-undang yakni
Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang disahkan pada
tanggal 16 Juli 2008.
Sebelumnya pengaturan mengenai
perbankan syariah dituangkan dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 tahun 1998.
Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi
karakteristik operasional perbankan syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan
dan volume usaha bank syariah berkembang cukup pesat.
Pengawasan terhadap kegiatan
usaha bank baik bank konvensional maupun bank syariah dilakukan oleh Bank
Indonesia. Hal ini didasarkan pada Pasal 29 ayat 1 Undang-undang No. 10 Tahun
1998 perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
berbunyi : ”Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia”.
Berkaitan dengan pembinaan dan
pengawasan itu Bank Indonesia mempunyai tugas yang didasarkan pada pasal 8
Undang-undang No. 3 Tahun 2004 perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia yang berbunyi : ”Untuk mencapai tujuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut : a)
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, b) mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran, c) mengatur dan mengawasi bank”. Dalam pasal 50
Undang-undang No. 21 Tahun 2008 sebagai undang-undang yang khusus mengatur
perbankan syariah disebutkan bahwa “Pembinaan dan pengawasan bank syariah dan
UUS dilakukan oleh Bank Indonesia”.
Pada prinsipnya, pengaturan
penyatuan sistem tata perbankan bagi sebuah negara dilakukan oleh bank sentral,
di Indonesia dalam hal ini dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia
diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pengawasan jasa
sistem pembayaran agar masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem pembayaran
yang efisien, cepat, tepat, dan aman. Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan
langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site
supervision) terhadap bank-bank syariah di Indonesia, baik bank umum
syariah maupun bank konvensional yang buka cabang khusus syariah atau dikenal
dengan Unit Usaha Syariah.
Secara umum, peranan bank sentral
sangat penting dan strategis dalam upaya menciptakan sistem perbankan yang
sehat dan efisien. Perlu diwujudkannya sistem perbankan yang sehat itu, karena
dunia perbankan adalah salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi suatu
negara. Sedangkan secara khusus, bank sentral mempunyai peranan yang penting
dalam mencegah timbulnya
risiko-risiko kerugian yang diderita oleh bank itu sendiri, masyarakat
penyimpan dana, dan merugikan serta membahayakan kehidupan perekonomian.
Bank Indonesia
yang memegang otoritas pembinaan dan pengawasan bank dibekali dengan kewenangan
yang berkaitan dengan perizinan, mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang memberi
landasan kerja yang sehat bagi bank serta mengawasi dan memberikan pembinaan
kepada bank dalam menjalankan segala usaha bank tersebut dengan tujuan
mendorong terwujudnya sistem perbankan yang sehat.
Kegiatan
pengawasan bank tersebut sebagai pelaksanaan monetary supervision dimaksudkan
untuk memonitor dan mengetahui lembaga keuangan bank dalam hal ini mematuhi
ketentuan aturan yang ditentukan oleh Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas
moneter dan menjalankan usaha perbankannya.
Bank sentral
sebagai pembinaan dan pengawasan bank mengarahkan lembaga keuangan bank yang
ada agar dalam kegiatan usahanya selalu berhati-hati sehingga bank tersebut
terhindar dari praktek perbankan yang tidak sehat.
Pada hakikatnya
pengaturan dan pengawasan bank dimaksudkan untuk meningkatkan keyakinan dari
setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan bank, bahwa bank-bank dari
finansial tergolong sehat, bahwa bank dikelola dengan baik dan profesional,
serta di dalam bank tidak terkandung segi-segi yang merupakan ancaman terhadap kepentingan masyarakat
yang menyimpan dananya di bank.
Dengan perkataan lain, tujuan umum dari pengaturan dan pengawasan bank
adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi tiga aspek, yaitu
perbankan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang
secara wajar, dalam arti di satu pihak memerhatikan faktor risiko seperti
kemampuan, baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia. Bank perlu
dibina dan diawasi mengingat fungsi bank adalah mengumpulkan dana dari
masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat di samping penyediaan
pemberian jasa-jasa keuangan lainnya. Bank syariah
dalam melaksanakan tugas dan kegiatannya wajib berpedoman pada prinsip-prinsip
perbankan syariah yang sehat dan mematuhi ketentuan yang berlaku. Dalam
hubungannya dengan prinsip tersebut, bank perlu memahami fungsinya sebagai
lembaga kepercayaan masyarakat dan karenanya bank harus menghindari
praktek-praktek dan kegiatan yang diperkirakan akan atau dapat membahayakan
kelangsungan hidup bank atau kepentingan masyarakat.
KESIMPULAN
1.
Peranan bank Indonesia sebagai bank
sentral sangat penting dan strategis
dalam upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat dan efisien.
2. Bank Indonesia dapat melakukan
pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung
(off-site supervision) terhadap bank-bank syariah di Indonesia, baik
bank umum syariah maupun bank konvensional yang buka cabang khusus syariah atau
dikenal dengan Unit Usaha Syariah.
3. Bank Indonesia mempunyai
peranan yang penting dalam mencegah timbulnya
risiko-risiko kerugian yang diderita oleh bank itu
sendiri (Bank Syariah dan Konvensional), masyarakat
penyimpan dana, dan merugikan serta membahayakan kehidupan perekonomian.
4.
Bank Indonesia mempunyai
peranan penting dalam mengembangkan perbankan syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar